Sabtu, 19 April 2014

Legenda Sanghyang Tikoro





   Legenda Sanghyang Tikoro

Belum banyak orang yang pernah berkunjung ke Goa Sanghyang Tikoro. Alasannya karena pertama, lokasinya yang agak tersembunyi sehingga lumayan sulit untuk menjangkaunya. Kedua, goa ini menyimpan banyak misteri dan mistis sehingga konon belum ada orang yang masuk kedalamnya. Sampai kini goa ini masih “perawan”, dalam arti belum ada seorang pun yang mengetahui ihwal berapa meter panjangnya Sanghyang Tikoro ini.

Berjuta Misteri
Menurut beberapa keterangan, konon, orang yang berkunjung ke Goa Sanghyang Tikoro tak hanya menikmati keajaiban alam yang indah dan panorama lainnya yang memesona, namun ada tujuan lain. Di malam-malam tertentu, seperti Kamis Kliwon atau Selasa Kliwon, menurut beberapa sumber, seringkali terlihat beberapa orang yang melakukan semedi atau bertapa di atas atau dipinggir Sanghyang Tikoro.
Sebagaimana telah disebutkan tadi, saking misteriusnya, sampai kini belum ada orang yang bisa memastikan secara valid berapa panjangnya Sanghyang Tikoro. Ada cerita yang menyebut bahwa goa ini memiliki panjang sampai 800 meter. Sanghyang Tikoro dimasuki oleh air Sungai Citarum dimana air yang masuk tersebut ternyata tak sepenuhnya kembali ke sungai tersebut, melainkan ada sebagian yang menyerap ke dalam tanah. Karena itulah, disebut sebagai Sanghyang Tikoro.
Ada beberapa versi ihwal asal muasal Sanghyang Tikoro ditinjau dari beragam sumber. Menurut kacamata ilmiah, Sanghyang Tikoro terbentuk sebagai akibat dari meletusnya Gunung Sunda. Dahsyatnya letusan mengakibatkan seluruh permukaan badannya hancur tak bersisa.  Setelah letusan, yang tersisa hanyalah lubang-lubang lekukan yang dalam dengan muntahan laharnya sangat panas.

Karena banyak mengeluarkan lahar panas, menyebabkan sungai di daerah Batujajar, Cililin, dan Padalarang tertimbun dan berubah menjadi lahar dingin. Lama kelamaan menggunung dan membentuk sebuah telaga yang kemudian populer dengan sebutan Talaga Bandung.

Luas Talaga Bandung, menurut data panjangnya mencapai sekitar 6 km dan lebarnya sekitar 15 km. Tanah di Padalarang dan Cililin umumnya mengandung kapur. Namun, sedikit demi sedikit akhirnya terkikis membentuk lubang aliran yang kelak kemudian dikenal sebagai Sanghyang Tikoro.
Selamat Berkunjung!

Kamis, 17 April 2014

Mundinglaya Dikusumah PDF Print E-mail
Ini legenda, bukan sejarah. Suatu ketika, sebuah kerajaan menyelenggarakan sayembara untuk mencari jimat salakadomas. Tak ada yang tahu apa yang melatari penyelenggaraan sayembara itu. "Yang jelas, siapa saja yang berhasil menemukan jimat tersebut, bakal dinikahkan dengan putri raja. Di antara para peserta, terdapat dua ksatria kenamaan kala itu, Mundinglaya dan Ki Jongkrang Kalapitung," tutur A. Ali Suharna (64), tokoh masyarakat sekaligus mantan Kepala Desa Muka Payung. Kami bertemu di dangau (gubuk) Kp. Cibitung Desa Muka Payung, Kec. Cililin, Kab. Bandung, Kamis (14/6).

Legenda Mulka Payung di Muka Payung

Desa Muka Payung, Kec. Cililin, Kab. Bandung dikelilingi gunung dengan nama tertentu. Desa itu pun sarat dengan benda cagar budaya, berupa batu beraneka bentuk. Di masyarakat, rupanya, gunung-gunung dan batu-batu itu saling bertaut membentuk sebuah cerita rakyat. Kisah tentang salakadomas. Sebuah kekayaan budaya, tentunya.

Ini legenda, bukan sejarah. Suatu ketika, sebuah kerajaan menyelenggarakan sayembara untuk mencari jimat salakadomas. Tak ada yang tahu apa yang melatari penyelenggaraan sayembara itu. "Yang jelas, siapa saja yang berhasil menemukan jimat tersebut, bakal dinikahkan dengan putri raja. Di antara para peserta, terdapat dua ksatria kenamaan kala itu, Mundinglaya dan Ki Jongkrang Kalapitung," tutur A. Ali Suharna (64), tokoh masyarakat sekaligus mantan Kepala Desa Muka Payung. Kami bertemu di dangau (gubuk) Kp. Cibitung Desa Muka Payung, Kec. Cililin, Kab. Bandung, Kamis (14/6).

Singkat cerita, Mundinglayalah yang berhasil menemukan jimat salakadomas itu. Ia bermaksud mempersembahkan jimat tersebut kepada sang putri. Bersama seorang kawan bernama Munding Dongkol, sang ksatria mencari sang putri. "Rupanya, Ki Jongkrang tahu bahwa jimat itu sudah ditemukan Mundinglaya. Maka, ia segera mengatur siasat jahat," ujar Ali.

Ki Jongkrang memasang perangkap berupa batu di aliran sungai Cibitung. Masyarakat Desa Muka Payung mengenalnya sebagai batu langkob. "Salah satu ujung batu panjang itu disangkutkan di tebing. Sementara, ujung lainnya disanggah dengan tiang batu. Kalau Mundinglaya lewat, batu itu dijatuhkan," katanya.

Rupanya, perangkap itu tak berhasil menjerat Mundinglaya. Malah, Munding Dongkol yang tertangkap. Kedua batu langkob itu, hingga kini, masih ada di aliran Sungai Cibitung. "Yang satu masih utuh, sedangkan yang satu lagi sudah runtuh. Batu langkob itu menjepit batu yang mirip badan kerbau (munding -red.). Masyarakat di sini percaya bahwa itulah Munding Dongkol," ujar Ali.

Ki Jongkrang tak kehabisan akal. Ia memasang cermin besar di barat yang memperlihatkan sang putri tengah tetirah di atas bukit, di bawah payung. Padahal, bukit itu sesungguhnya berada di timur. Bukit itu berada di Kampung Mulka Payung. "Diam-diam, Ki Jongkrang membuat cubluk (lubang septic tank) yang dibubulu (ditutupi) dengan dedaunan dan ranting. Mundinglaya yang gembira bakal bertemu putri, akhirnya terperosok dan tak bisa bangkit lagi," ucapnya.

Tempat Ki Jongkrang meletakkan cermin (eunteung,-red.) itu, oleh masyarakat setempat, dikenal sebagai Leuwi Eunteung. Batu yang dipercaya sebagai Mundinglaya pun, hingga kini, masih ngajugrug (utuh berdiri) di sawah milik Ali Suharna. "Batu ini juga dinamakan Munding Jalu," katanya.

Kecurangan Ki Jongkrang disaksikan sang putri dari puncak bukit. Sang putri lari dan bersembunyi di bukit, tak jauh dari tempat semula. Ia meninggalkan payung yang meneduhinya. Payung --yang menjadi batu-- itulah yang dikenal sebagai Mungkal (batu -red.) Payung. "Sementara, bukit tempat putri bersembunyi dinamakan Gunung Putri. Lalu, di lain waktu, seorang nakhoda bernama Demang Karancang bermaksud mempersunting putri itu, tapi tak bisa. Karena itulah, bukit di timur Gunung Putri dinamakan Gunung Karancang. Biasa juga disebut Gunung Nakhoda atau Gunung Kasep Roke," ungkapnya.

Kemudian hari, ketika dimekarkan dari Rancapanggung, desa itu diberi nama Muka Payung. Soalnya, desa tersebut kadung tersohor dengan situs mungkal payung yang berada di Kp. Mulka Payung. "Ada sebuah harapan. Desa ini bisa menjadi seperti payung terkembang," ujar Ali Suharna menandaskan. (Hazmirullah/"PR")***
 
     DONGENG SASAKALA GUNUNG PUTRI CILILIN 
 


Kacaritakeun aya putri anu kacida geulisna.Ku tina geulis-geulisna,rea pisan lalaki nu mikahayang.Boh putra Raja boh turunan cacah, rea nu geus balaka hayang migarwa.Tapi taya nu bisa laksana.Sakur nu kungsi ngalamar teh balik lengoh bari kuciwa. 

Demi sababna, unggal aya nu ngalamar putri teh sok aya pamenta.Pamentana rupa-rupa,tapi tetela taya nu hampang. Lamun teu bisa nedunan pamentana,wayahna panglamarna teu ditarima.
Geus aya puluhna lalaki nu gagal lantaran teu bisa nedunan kahayang putri.Najan kitu,teu bisa kukumaha. Teu wani ngunghak campelak ka eta putri najan kahayangna teu laksana oge.Ari sababna,lian ti geulis teh eta putri jeung sakti deuih. Pangabisana lain bantrak-bantrakeun.

Sakali mangsa,kurunyung aya lalaki nepungan ka eta putri. Eta lalaki teh urang padesan,ngaranna Asep Roke. Maksudna nepungan putri seja ngalamar. 

Nyi Putri henteu nolak,Tapi nya eta boga pamenta.Pokna teh:"Heug bae kaini jadi pamajikan anjeun, asal anjeun bisa nedunan kahayang kami.Anjeun didagoan di dieu nepi ka wanci surup panonpoe.Datang deui kildu mawa munding nu baplang tandukna. Lamun eta teu ngabukti,wayahna moal jadi dipisalaki...." 

Asep Roke indit bari gede hate.Ceuk pikirna,naon hesena neangan munding baplang! Manelma geus ujub yen bakal jadi salaki putri. Inditna teh bari gumbira pisan. 

Tapi,buktina mah bet nyalahan.Waktu panonpoe geus rek surup,Asep Roke di jalan keneh.Can nepi ka tempat putri. Padahal munding nu tandukna baplang teh geus katungtun ku manehna.Ngan elat waktuna bae. 


Barang reup panonpoe surup,Asep Roke kakara nepi ka pasawahan.Teu sakumaha jauhna ti patempatan putri tea. 

Keur kitu,ujug-ujug reg bae munding teh eureun,teu daek dibawa leumpang.Mugen di dinya. Asep Roke pohara kagetna, barang ngalieuk ka tukang,munding teh bet jadi batu! Ras Asep Roke inget ka putri nu kasohor luhung elmuna. Moal boa kajadian kitu teh nya lantaran pangawasa putri tea. 

Cul bae munding nu geus jadi batu teh ditinggalkeun. Berebet manehna lumpat,muru ka tempat putri.Teu ku hanteu,barang nepi ka deukeut panganjrekan putri,Asep Roke ge robah jadi arca batu. Nya kitu deui putri tea, manehna ge jadi arca. 

Lila ti lila,tempat Asep Roke jadi arca teh ngajadi gunung.Nepi ka ayeuna nelah gunung Asep Roke. Nya kitu deui tempat putri tea,jadi gunung deuih. Kasebutna gunung Putri.Ari batu robahan tina munding nu dibawa ku Asep Roke tea,katelah Batu Munding.Ayana di Rancapanggung, Cililin (kab.Bandung).

SEJARAH DESA CILILIN

SEJARAH DESA
a. Legenda Desa (Sasakala )
Pada Tahun 1800 M Raksawijadilaga dan istrinya Sartika sudah meninggal dunia, maka untuk meneruskan kepemimpinannya diserahkan kepada putranya yang bernama Raksa diberi gelar Raksanegara I dengan memangku jabatan Wedana ( karangan) Rongga III, Raksanegara I mempunyai adik bernama Sumalarang dengan jabatan Wedana Ciputri.
Pada Tahun 1840 Wedana Rongga mendapat perintah dari Regent Residen Priangan untuk membuat jalan dimana kewedanaan Rongga akan dijadikan sebagai obyek perkebunan kopi dalam rangka Culturstelsel. Dimana masyarakat pada waktu itu masih kuat dengan bergotong royong maka terwujudlah jalan pekebunan kopi dimulai dari lokasi: Kamp Kaca-kaca, Loji dan Tangsi Gununghalu, surat perintah membuat jalan dengan Bahasa Belanda"uit tuin lijn weg"
Dengan jangka waktu yang cukup lama sampai 10 tahun dan banyak makan korban jiwa, pengerjaan pembuatan jalan tersebut sangat memuaskan Pemerintah Hindia Belanda, sehingga Resident Priangan atas nama Koningklijck Nederland Indie menganugrahkan bintang jasa kepada Raksanegara I berupa piagam perunggu dengan garis tengah 20 cm suatu kehormatan yang sangat besar pada waktu itu dan masih jarang diperoleh, yang sangat kita rasakan adalah manfaatnya sampai sekarang oileh kita semua.
Dengan melihat sejarah sebutan Cililin dikaitkan dengan Bahasa Belanda yaitu pembuatan jalan disebutnya "elina"sehingga dengankata ini maka timbul nama "Cililin"
Atas jasanya ini adalah kata-kata dari pemerintah Hindia Belanda sebagai berikut:
             Piagio, 20 September 1850
             handvest.
             Boven open names van in opdracht geven tegen
             die zich verdienstelijk maken tuin lijn weg.
                                             MC. VEN HUENDER
                                             RESEIDENT PRIANGO
Yang artinya: 
"Priangan, 20 September 1850  Piagam penghargaan atas nama pemerintah, diberikan kepada yang bekerja membuat jalan lurus penghubung jalan Perkebunan"
 
Dengan adanya kata-kata "uit tuin lijn weg" Maka Drs Said Raksakusumah Ketua jurusan sejarah FKIS IKIP Bandung, ketika mengadakan penelitian di daerah kewedanaan Cililin pada Tahun 1986 berkesimpulan nama Cililin diambil dari kata "uit tuin lijn weg" diartikan " Bibit buit pituin cililin wae"
Wedana Raksanegara I diberi gelar sebagai wedana Cililin, yang memerintah dari tahun 1800-1855.
Letak Geografis Kewedanaan Cililin yang membentang dipenghujung Barat-Utara Kabupaten Bandung Barat, tepatnya menurut penelitian para ahli purbakala bahwa sebahagian besar Wilayah Kewedanaan Cililin merupakan bagian terdalam dari bekas genangan danau Bandung tempo dulu. Yang mempunyai luas sama dengan Kabupaten Purwakarta atau Kabupaten Subang. oleh karena itu potensi tanahnya sangat subur, karena kesuburannya dipastikan telah banyak dihuni manusia sejak 2000 tahun sebelum masehi.
Dengan masuk dan menyebarnya Agama Islam didaerah Kewedanaan Cililin maka Agama dan Budaya Islam dapat mewarnai kehidupan seluruh masyarakat. Sehingga pengaruh Budha dan Hindu yang terdahulu dapat berakulturasi dengan Kebudayaan Islam. Maka yang timbul adalah motif Islamnya saja. Oleh karena itulah daerah Cililin sejak dahulu dapat julukan" Gudang Santri dan Pabrik haji"

Objek Wisata Curugan Gunung Putri Cililin

        Lembah Curugan Gunung Putri berlokasi di daerah Bandung, tepatnya berada di daerah bandung barat  Jl. Kampoeng curugan Ds. Mukapayung, 30 KM dari Kota Bandung. Jika menggunakan kendaraan,  jarak tempuh sekitar 1 jam. Luas daerah sekitar 1 Ha.

        Banyak yang belum mengetahui keberadaan dan keindahan dari Lembah Curugan Gunung Putri  ini.  Padahal Lembah Curugan Gunung Putri mempunyai daya tarik tersendiri, dengan kesejukan alamnya  yang terasa segar dan alami. Begitu mendekati area wana wisata Curug Cilember, Anda sudah bisa  merasakan nuansa kesejukan dan kesegaran, ditambah pula dengan panorama alam yang begitu indah.

Harga masuk bagi para pengunjung :
- Perorang                    :Rp. 5.000
- Motor                        :Rp. 2.000 (Parkir)
- Mobil                         :Rp. 5.000 (Parkir)
- Kamping                    :Rp. 10.000 @ orang / malam

Curug Malela (Niagara Mini di Bandung Barat)

                                                       Niagara Mini di Bandung Barat

Banyak kalangan menyebutkan bahwa Curug Malela mirip dengan Niagara di Ontario, Canada. Memang ukuran Malela ini jauh lebih kecil dengan debit air yang juga jauh lebih sedikit. Namun, dilihat dari strukturnya bahwa Curug Malela ini memang layak dijuluki Niagara Mini.

Curug Malela yang dalam bahasa Indonesia berarti Air Terjun Malela, terletak di Desa Cicadas, Kecamatan Rongga - Gununghalu Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Hulu sungai berasal dari lereng utara Gunung Kendeng, gunung berapi yang terletak di sebelah barat Ciwidey yang telah mati, mengalir melalui Sungai Cidadap – Gununghalu
Curug Malela ini memiliki ketinggian sekitar 60-70 meter dan mempunyai lima buah jalur air terjun yang seakan-akan mengingatkan kita kepada yang maha pencipta agar tidak melupakan shalat 5 (lima) waktu. Jika debit air sedang deras maka akan terlihat kemegahannya yang mempesona, bahkan kalau dilihat dari kejauhan terkesan seperti benang-benang sutra halus. 
Disebelah kanan terlihat sebuah tebing yang cukup tinggi berwarna putih yang mengarah ke bawah. Ada kemungkinan bahwa dulunya dinding ini juga sebuah air terjun. Jika memang demikian, dapat dibayangkan betapa indah dan megahnya Curug Malela ini. Sebuah surga tersembunyi yang nyaris terisolir dari peradaban dan bagaikan harta karun yang belum digarap secara optimal.
Curug Malela memang belum populer untuk saat ini, bahkan masyarakat bandung dan sekitarnya pun masih banyak yang belum kenal dengan si Niagara Mini ini. Namun, itu bisa dimaklumi, kurang populernya Curug Malela sebagai daerah wisata disebabkan karena daerah ini masih sangat sulit dijangkau, cukup terisolir dari dunia luar. Belum lagi dengan kondisi medan yang begitu berat membuat Curug Malela sulit dijadikan salah satu tujuan wisata keluarga. 
Namun, jika Anda hobi berpetualang akan mendapatkan kepuasan tersendiri dengan menelusuri sebuah lembah yang ditutupi hutan berbukit-bukit, seakan-akan menelusuri surga yang tersembunyi. Begitu indah namun cukup sulit untuk dijangkau.
Keindahan Curug Malela ini tidak berdiri sendiri. Curug Malela merupakan air terjun paling atas dari rangkaian tujuh air terjun bertingkat sepanjang 1 kilometer. Urutannya adalah: Curug Malela, Curug Katumiri, Curug Manglid, Curug Ngeubul, Curug Sumpel, Curug Palisir, dan ditutup dengan Curug Pamengpeuk. Semua terletak di Desa Cicadas.
Setiap air terjun memiliki kekhasannya tersendiri. Curug Malela memiliki air terjun yang terpisah saat jatuh. Curug Katumiri pada pukul 8.00-9.00 bisa memperlihatkan pelangi di badan air terjun. Curug Ngeubul, air yang jatuh berkumpul (kebalikan dari Curug Malela) sehingga menimbulkan efek kabut dan suara yang menggelegar.
Curug Manglid memiliki goa di belakang air terjunnya. Curug Sumpel memiliki daerah di bawah air terjun yang lebar. Curug Palisir mirip Curug Malela dengan ketinggian yang lebih rendah. Terakhir, Curug Pameungpeuk, yaitu muara air terjun antara Sungai Cidadap dan Cisoka yang terletak tidak jauh dari air terjunnya.


Akses  Jalan

Akses menuju Curug Malela dengan kendaraan umum sebenarnya juga tidak terlalu sulit. Kebanyakan yang datang memulai perjalanan dari kota Bandung, meskipun bisa juga melalui jalur Sukabumi atau Cianjur. Di bawah ini sedikit panduan untuk menuju lokasi (rute) Curug Malela:
Dari terminal Ciroyom, Bandung: Naik Bis jurusan Gununghalu/Bunijaya yang ditempuh dalam waktu sekitar 3 hingga 4 jam.
Dari terminal Leuwi Panjang, Bandung: naik angkot jurusan Cimahi atau Cililin, dari Cililin lanjutkan dengan Angkot jurusan Gununghalu (turun di depan mini market alfamart - gununghalu) kemudian naik Bis jurusan Gununghalu/Bunijaya. Atau langsung saja dari Cililin naik Bis jurusan Gununghalu/Bunijaya.
Dari Tol Padalarang, Kabupaten Bandung Barat: naik angkot jurusan Cimahi, turun di Cimareme dan lanjutkan naik angkot jurusan Cililin atau langsung saja dari Cimareme naik Bis jurusan Gununghalu/Bunijaya.
Dari terminal Cileunyi, Kabupaten Bandung: Naik Bis Jurusan Cileunyi - Cililin kemudian dari Cililin lanjutkan dengan naik Bis jurusan Gununghalu/Bunijaya.
Dari terminal Bunijaya, lanjutkan perjalanan dengan menggunakan ojek ke Desa Cicadas atau jika Anda ingin mengirit pengeluaran atau yang suka berpetualang, silahkan berjalan kaki dengan jarak sekitar 12 km. Setelah itu lanjutkan perjalanan melintasi bukit-bukit, hutan dan sawah sekitar 3 hingga 4 km. Dan bagi yang belum tau lokasi, jangan khawatir sebab begitu tiba di Desa Cicadas, sudah ada warga setempat yang bersedia memandu Anda menuju ke lokasi air terjun.